Pages

Text Widget

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Definition List

Download

RSS

makalah tafsir surat al-isra 23-24 (pendidikan karakter dalam Islam)

TAFSIR SURAT AL-ISRA’ (17) AYAT 23-24 (PENDIDIKAN KARAKTER DALAM ISLAM)
Pendahuluan
Seorang anak didalam mencari nilai-nilai hidup, harus mendapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah, dan alam sekitarnyalah yang akan memberikan corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan seorang anak, khususnya pendidikan karakter.
Karena itu Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan terhadap anak dan memberikan konsep secara kongkrit yang terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasan Rasulullah SAW yang ada didalam Hadits.
Dimana terdapat dalam Surat Al-Isra Ayat 23-24 dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan bagi anak, namun terlebih dahulu marilah kita uraikan apa makna/definisi dari pendidikan dan arti anak itu sendiri.

A.    PENGERTIAN PENDIDIKAN (PAEDAGOGIE)
Didalam berbagai literatur ilmu pendidikan, beberapa pakar/ahli pendidikan sepakat bahwa kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani Paedagogie, terdiri dari kata “PAIS” yang artinya anak dan kata “AGAIN” yang artinya membimbing. Jadi Paedagogie secara bahasa diartikan bimbingan yang diberikan kepada anak.
Menurut istilah, pendidikan (paedagodie) diartikan oleh beberapa pakar sebagai berikut:
1)      Drs.H.Abu Ahmadi dan Dra.Hj.Nur Uhbiyati
Pendidikan pada hakekatnya adalah suatu kegiatan secara sadar dan disenagja serta penuh rasa tanggungjawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak agar anak tersebut mencapai tingkat kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus menerus;
2)      Ki Hajar Dewantoro
Mendidik adalah kegiatan menuntun segala kodrat/bawaan yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Dari beberapa pendapat diatas, esensial makna yang terdapat didalamnya adalah sama dengan konsep dan makna pendidikan yang ada dalam agama Islam, bahwa pendidikan adalah hak semua manusia dan berlaku seumur hidup. Sebagaimana Hadits Nabi SAW menyebutkan:
اللَّحْدِ إِلَى الْمَهْدِ مِنَ الْعِلْمَ اطْلُبُوْا
“Tuntutlah Ilmu sejak dalam ayunan (bayi) hingga ke liang lahat”
Dan dalam Hadits lain disebutkan :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمةٍ
 “ Menuntut ilmu adalah wajib bagi tiap-tiap orang islam”.

B.     PENGERTIAN ANAK
Menurut Islam, anak merupakan sebuah amanah dari Allah SWT yang diembankan kepada hamba-Nya yang dikehendaki, yang dilahirkan dalam keadaan suci/fitrah. Karena itu, tanggungjawab pendidikan seorang anak secara khusus dibebankan kepada orang tuanya, didalam hadits Nabi SAW disebutkan :
 وَيُمَجِّسَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وِّدَانِهِ يُهَا فَأَبَوَاهُ الْفِطْرَةِ عَلَى يُوْلَدُ كُلُّ مَوْلُوْدٍ
“ Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah/suci, kedua orangtuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, atau seorang Nasrani, atau seorang Majusi”.
Berdasarkan Hadits Nabi SAW diatas, jelaslah bahwa orang tua memegang peranan penting dalam membentuk kepribadian seorang anak. Oleh sebab itu, anak akan menjadi sholeh dan dapat menyelamatkan orang tuanya atau akan menjadi fitnah yang akan menyengsarakan orangtua tergantung dari orang tuanya dalam memberikan pendidikan.
Selanjutnya mari kita bahas konsep pendidikan bagi anak yang ditawarkan oleh Islam,yaitu dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ (17) ayat 23-24.






Teks Ayat dan Terjemah
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا.
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Kata kunci
4Ó|Ós%ur
:
Dan telah memutuskan
y7•/u‘ žwr&
:
Rabbmu supaya janganlah, lafaz Alla berasal dari gabungan antara an dan la
(#ÿr߉ç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ)
:
Kalian menyembah selain dia dan hendaklah kalian berbuat baik

Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $•Z»|¡ômÎ)
:
Pada ibu bapak kalian dengan sebaik-baiknya yaitu dengan berbakti kepada keduanya

$¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8y‰YÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèd߉tnr&
:
Jika salah seorang diantara keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, lafaz ahaduhuma adalah fa’il
÷rr& $yJèdŸxÏ.
:
Atau keduanya, dan menurut suatu qiraat lafaz yablughanna dibaca ya blughaani dengan demikian maka lafaz ahaduhuma menjadi badal daripada alif lafaz yablughani

Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é&
:
Maka sekali-kali kamu janganlah mengatakan “ah” kepada keduanya

Ÿwur $yJèdöpk÷]s?
:
Dan janganlah kamu membentak mereka, jangan kamu menghardik keduanya

@è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2
:
Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, perkataan baik dan sopan.

ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA—%!$#
:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
z`ÏB ÏpyJôm§9$#
:
Dengan penuh kesayangan
@è%ur Éb>§‘ $yJßg÷Hxqö‘$# $yJx.
:
Dan ucapkanlah: wahai Rabbku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana keduanya mengasihiku sewaktu

’ÎT$u‹­/u‘ #ZŽÉó|¹
:
Mereka berdua mendidik aku waktu kecil. [1]

Tafsir Ayat
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا.
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
Berdasarkan ayat di atas, tampaknya yang menjadi titik sentral dalam masalah bir al-walidain adalah anak, maka posisi orang tua sebagai pendidik tidak menjadi bahasan utama. Hal ini bisa disebabkan adanya suatu anggapan bahwa orang tua tidak akan melalaikan kewajibannya dalam mendidik anak.
Menurut Said Qutub orang tua itu tidak perlu lagi dinasehati untuk berbuat baik kepada anak, sebab orang tua tidak akan pernah lupa akan kewajibannya dalam berbuat baik kepada anaknya. Sedangkan anak sering lupa akan tanggung jawabnya terhadap orang tua. Ia lupa pernah membutuhkan asuhan dan kasih sayang orang tua dan juga lupa akan pengorbanannya. Namun demikian anak perlu melihat ke belakang untuk menumbuh-kembangkan generasi selanjutnya.  Jadi mempelajari cara orang tua dalam mendidik anak menjadi hal yang perlu dipertimbangkan.
Hal pertama yang teranalisa dalam penjelasan kedua ayat tersebut adalah kewajiban orang tua untuk memperlakukan anak dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam penafsiran ayat   wa bilwalidaini ihsana. Dalam penafsiran penggalan ayat tersebut, anak dituntut berbuat baik kepada kedua orang tua disebabkan orang tua telah berbuat ihsan kepada anak; mengandung selama sembilan bulan, memberikan kasih sayang dan perhatian sejak dari proses kelahiran hingga dewasa. Dengan demikian, perintah anak untuk berbuat ihsan kepada orang tua menjadi wajib dengan syarat orang tua telah terlebih dahulu berbuat ihsan kepadanya.
Ihsan orang tua terhadap anak sangat urgen sebab seorang anak yang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah tidak berdaya,  tidak tahu apa-apa, dan perlu pertolongan orang lain. Untuk mengatasi ketidakberdayaannya, anak sangat bergantung sepenuhnya kepada orang tua dan menunggu bagaimana arahan dan didikan yang akan diberikan kepadanya.
Hal kedua yang dapat dijadikan konsep pendidikan emosional anak adalah
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Kondisi lemah anak yang masih kecil dalam asuhan orang tua sama halnya dengan kondisi orang tua yang telah tua renta dalam asuhan anak. Ketika Allah mewajibkan anak untuk berbuat baik kepada orang tua sebagai balasan orang tua yang telah memperlakukan anak dengan baik dan susah payah ketika anak kecil, maka secara otomatis orang tua juga dituntut hal yang sama yakni memperlakukan anak dengan baik; tidak bersikap yang menunjukkan kebosanan dan kejemuan secara lisan maupun bahasa tubuh.
Berkaitan dengan hal ini, orang tua seharusnya tidak mengabaikan aspek psikologis dalam mengasuh anak. Anak memerlukan perhatian dan kasih sayang. Meskipun belum bisa berpikir logis, anak tetap memerlukan kasih sayang dan cinta orang tua. Pemberian materi yang banyak tanpa dibarengi dengan perhatian dan rasa cinta dari orang tua akan membuat anak merasa tidak ada ikatan emosi antara dirinya dan orang tua. Akibatnya anak tidak peka terhadap apa yang dirasakan oleh orang tuanya, apalagi ketika orang tua telah renta.
Memperlakukan anak dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang bukan hanya membantu anak berkembang dengan positif tetapi juga memudahkan orang tua untuk mengontrolnya. Di saat orang tua bersikap lemah lembut dan sayang kepadanya, maka anak tersebut akan mudah untuk diajak kerja sama dan akan bersikap menurut.
Memperhatikan aspek psikologis anak dapat diwujudkan dengan sikap dan perkataan. Allah mewajibkan anak untuk berkata lemah lembut dan tidak menghardik orang tua ketika mereka telah pikun karena orang tua telah berlaku sabar, bersikap lembut dan tidak menghardik anak. Dengan demikian orang tua juga dituntut untuk lemah lembut dalam perkataan dan tidak menghardik anak. Anak kecil yang belum bisa berpikir rasional dan logis sama halnya seperti orang tua yang telah pikun. Anak kecil tentunya akan merasa senang dengan dunianya. Misalnya anak kecil mempermainkan kotorannya sendiri yang menurut daya nalar anak apa yang dilakukannya tersebut baik dan menyenangkan. Meskipun hal demikian belum tentu logis dan baik menurut pemikiran orang dewasa. Dalam hal ini orang tua perlu bersikap sabar.
Penghinaan dan celaan adalah tindakan yang dilarang dalam pendidikan, sekalipun terhadap bocah kecil yang belum berumur satu bulan. Anak bayi sangatlah peka perasaannya. Ia dapat merasakan orang tua tidak senang dan tidak menyukainya melalui sikap, bahkan yang masih tersirat dalam hati orang tua, lebih-lebih lagi melalui perkataan yang jelas.
Sikap orang tua dalam menghadapi dan mengasuh anak pada masa kecil memerlukan kesabaran dan tutur kata yang baik atau qaulan karima. Tutur kata yang baik bisa diwujudkan seiring dengan adanya kesabaran. Apabila tidak ada kesabaran dalam diri orang tua tentunya kata-kata kasar dan hardikan akan keluar tanpa terkendali. Dan perkataan kasar serta hardikan tidak disenangi anak, walaupun menurut orang tua semua itu demi kebaikan anak. Sebab yang dirasakan oleh anak bahwa kata-kata yang tidak lemah lembut merupakan bukti ketidaksenangan orangtua terhadapnya.[1]
Pengendalian tutur kata agar selalu terucap yang baik merupakan bentuk kesabaran dan penghargaan orang tua terhadap anak. Ada sebagian keluarga di mana orang tua selalu menggunakan perkataan kotor ketika berbicara dengan anak-anak mereka. Padahal pada setiap tempat, terjaganya lingkungan masyarakat akan tergantung pada istilah-istilah dan ungkapan bahasa yang digunakan oleh ayah dan ibu kepada putra putrinya. Membiasakan anak bersikap sopan santun dalam berbicara adalah tugas orang tua, karena anak mengambil dan belajar dari kedua orang tuanya. Jika kedua orang tuanya tidak memiliki cara yang benar dalam berbicara, maka mereka berdua tidak akan mampu mengajari anak-anak mereka sama sekali.[2]
Qaulan karima merupakan perkataan yang baik, lembut dan memiliki unsur menghargai bukan menghakimi. Dengan demikian anak akan bisa menilai kadar keperdulian orang tua terhadap dirinya melalui perkataan yang didengarnya. Di samping memberikan dampak secara psikologis, gawl karim juga menjadi acuan bagi anak untuk mengikuti pola yang serupa. Sebagai konsekuensinya anak berbicara dengan perkataan yang baik kepada orang tua sehingga akan terjalin ikatan emosional antara anak dan orang tua.
Perkataan kasar dan caci maki, sebagai kebalikan dari pendapat di atas, akan membuat anak terbiasa dengan kata-kata tersebut. Terbiasa di sini dimaksudkan bahwa ketika orang tua melontarkan cacian kepada anak sebagai tanda marah, anak tidak akan menghiraukan lagi.[3] Dan membentak anak sekalipun ia masih sangat kecil, berarti penghinaan dan celaan terhadap kepribadiannya sesuai kepekaan jiwanya. Dampak negatif ini tumbuh dan berkembang hingga menghancurkan kepribadian dan mengubah manusia menjadi ahli maksiat dan penjahat yang tidak lagi peduli dengan perbuatan dosa dan haram.[4]
Melalui kata yang baik, bijak dan juga pujian, anak akan merasa dihargai dan keberadaannya di antara anggota keluarga menjadi berarti. Seberapapun tinggi pendidikan dan juga pengetahuan yang diperoleh orang tua tentunya orang tua tidak bisa memandang segala sesuatunya dari sudut pandangnya sendiri. Sebab anak yang masih kecil belum mampu menjangkau pemikiran orang tua. Dengan demikian orang tua dalam usaha mendidik dan mengarahkan anak berusaha untuk memposisikan diri pada sudut pandang anak yang masih kecil tersebut kalau tidak akan selalu terjadi ketegangan. Dan sebagai konsekuensinya perkataan tidak baik akan ditangkap oleh anak.[5]
Berkaitan dengan cara pandang orang tua yang berbeda dengan anak kecil, di sini perlu dirujuk kembali pendapat al-Tabariy yang menyatakan bahwa anak harus membiarkan apa yang dicintai dan diingini oleh kedua orang tua ketika keduanya dalam asuhannya selama tidak bermaksiat kepada Allah. Anjuran untuk membiarkan apa yang diinginkan oleh orang tua dimaksudkan untuk menjaga perasaan keduanya; agar mereka tidak sakit hati dan tersinggung.
Hal demikian juga dapat diterapkan dalam mendidik anak. Orang tua tidak perlu terlalu protektif dengan lebih banyak mengeluarkan intruksi larangan dari pada membolehkan. Apabila orang tua banyak melarang segala sesuatu yang akan dilakukan oleh anak, anak akan menilai orang tua sebagai sosok yang otoriter, kejam dan tidak memahami perasaan serta kemauannya. Dan  juga anak akan cenderung tidak berani bertindak.72 Jika hal demikian terjadi maka kreativitas anak akan hilang dan anak tidak merasa adanya keterikatan emosi dengan orang tua. Oleh karena itu orang tua, dalam konteks ini, tidak terlalu banyak melarang apa yang akan dilakukan oleh anak selama tidak membahayakan dirinya dan juga selama tidak keluar dari norma-norma islami. Selanjutnya, setelah berbuat ihsan dan berkata dengan qawl karim kepada anak, orang tua juga dianjurkan untuk mendo’akan anak seperti Allah menganjurkan anak untuk mendo’ akan orang tua dalam akhir ayat 24 surat al-Isra’ tersebut. Sebab mendo’akan anak merupakan bagian bentuk tanggung jawab orang tua kepada generasi penerusnya, yang tidak ingin melihat mereka sebagai generasi yang amburadul, loyo dan tidak mengerti akan tanggung jawabnya.[6] Sebagaimana Rasulullah Saw pernah mendo’akan cucunya Hasan dan Husain. Hadith tersebut adalah sebagai berikut: Artinya: Ya Allah, kasihilah mereka berdua, sebab aku mengasihinya.[7]
Penghujung ayat 24 surat al-Isra’:  وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
pada intinya merupakan perintah kepada anak untuk mendo’akan kedua orang tuanya. Namun penggalan ayat tersebut merupakan keyword dari keseluruhan konsep interaksi edukatif pada aspek emosional antara orang tua dan anak. Orang tua berhak mendapatkan Ihsan, qawlan karima dan juga rahmah seperti yang terdapat pada penggalan ayat tersebut, apabila ia telah berbuat hal yang sama terhadap anak terlebih dahulu. Hal ini dapat dipahami dari kata kama rabbayani shaghira. Dan dalam kata tersebut terkandung unsur cause and effect atau causalitas.
Kata rabbayani dalam penggalan ayat tersebut merupakan akumulasi dari sikap Ihsan, qawlan karlma dan juga rahmah orang tua terhadap anak. Singkatnya sikap  orang tua terhadap anak berdasarkan konsep pendidikan emosional yang terdapat dalam surat al-Isra’ 23-24 adalah dengan cara memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak, bersikap lemah lembut, berkata dengan perkataan yang baik, dan tidak memaksakan kehendak orang tua sebab dunia anak dan orang dewasa itu berbeda atau dengan kata lain orang tua memberikan kelonggaran bagi anak untuk berkreativitas selama tidak menyimpang dari ajaran agama. Serta mendo’akan anak agar Allah senantiasa melimpahkan kasih sayang-Nya terhadap anak. Sikap orang tua terhadap anak tersebut memerlukan kesabaran dan pengorbanan yang begitu besar.
Orang tua yang telah bersabar dan berkorban dalam mendidik dan mengarahkan anak agar menjadi anak yang shalih berhak mendapatkan do’a seperti yang disinyalir oleh Allah dalam firman-Nya:
Artinya: Dan ucapkanlah: `wahai Tuhanku, kasihilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.(al-Isra’:24).

Kesimpulan
Dengan demikian secara keseluruhan konsep pendidikan yang terdapat dalam surah al-Isra’ 23- 24 merupakan bentuk konsep yang memiliki kausalitas atau sebab¬ akibat (hubungan timbal balik). Anak menyantuni dan juga mendo’akan orang tua sebagai konsekuensi dari sikap orang tua terhadap anak ketika anak masih kecil. Oleh karena itu, orang tua mendapatkan hak dari anak karena orang tua telah melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu terhadap anak. Dan begitu juga sebaliknya; anak memberikan hak orang tua karena anak telah mendapatkan haknya, yakni pendidikan dengan penuh kasih sayang, kelembutan, keikhlasan dan keridhaan dari orang tua. Sehingga terbentuklah pendidikan karakter terhadap si anak.

Refrensi
[1] Irawati Istadi, Mendidik Dengan Cinta, (Jakarta: Pustaka Inti, 2003), h. 11.
[2] Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak … h. 207&209
[3] Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, Jil. 5, (Semarang: Asy-Syifa’, 1992), h. 178.
[4] Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, (Jakarta: Lentera Basritama
[5] Mohamed A. Khalfan, Anakku Bahagia Anakku Sukses, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), h.
[6] Fuad Kauma, Buah Hati Rasulullah: Mengasuh Anak Cara Nabi, (Bandung: Hikmah, 2003), h. 70.
[7] Shahih Bukhari, Terj., Jil. 8, (Semarang: Asy-Syifa’, 1993), h. 25.
[8] http://irham1977.wordpress.com/2009/11/06/perlindungan-anak-dalam-perspektif-islam/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS